Daán yahya/Republika

Cerita Bahasa: Dari Melayu, Jawi, ke Indonesia

Bahasa Melayu mengalami Islamisasi sehingga menyerap banyak kata bahasa Arab dan ditulis dengan aksara Arab.

Oleh: Hasanul Rizqa

Prof Azyumardi Azra dalam karya monumentalnya, Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII (1994), merangkum tiga pendapat yang membahas tempat, waktu, dan subjek asal kedatangan Islam di Nusantara. Yang pertama, pandangan bahwa syiar Islam mula-mula dibawa dari pantai barat Anak Benua India—tepatnya Gujarat dan Malabar—ke Indonesia pada abad ke-12 M. Sejumlah orientalis semisal Snouck Hurgronje dan Moquitte, mendukung teori ini.

 

Teori kedua menyatakan, Islam pertama kali datang ke Nusantara dari Bengal, yakni suatu kawasan pesisir teluk yang mempertemukan antara Anak Benua India dan Semenanjung Indochina. Pendukung hipotesis ini antara lain SQ Fathimi yang menilai, kebanyakan orang penting di Kerajaan Samudra Pasai (Aceh) adalah keturunan Bengali.

 

Adapun teori yang terakhir meyakini, Islam datang pertama kali ke Indonesia langsung dari tanah kemunculannya, yakni Jazirah Arab atau tepatnya Hadramaut (Yaman). Dakwah agama tauhid bahkan diyakini sudah tiba di Nusantara sejak abad ketujuh dan kedelapan Masehi—seturut dengan abad pertama Hijriyah. Di antara mereka yang mendukung argumentasi ini ialah Prof Buya Hamka dan Syed Hussein Naquib al-Attas. Lebih jauh, Hamka malahan menyatakan, teori selain ini hanyalah manipulasi kaum orientalis semacam Hurgronje yang hendak melepaskan pengaruh Arab dari lanskap budaya dan sosial Indonesia, khususnya Aceh sebagai lokus kerajaan Islam pertama di Nusantara.

 

Betapapun perbedaan-perbedaan pendapat itu, umumnya sejarawan mengakui bahwa sejak abad ke-13 M penyebaran Islam di Nusantara terjadi begitu masif dan pesat. Hal itu ditandai dengan berdirinya banyak kerajaan Islam di berbagai daerah, termasuk pesisir Sumatra dan Jawa. Mula-mula, kaum bangsawan setempat memeluk agama tauhid ini sehingga berbondong-bondong rakyat setempat mengikutinya.

 

Bagaimanapun, kuatnya dakwah Islam tidak hanya disokong pendekatan “up to bottom” demikian. Ketiga teori di atas pada intinya menekankan, masuknya Islam ke Nusantara tidak berupa penaklukan militer atau ekspansi politik, melainkan cenderung interaksi budaya. Dalam hal ini, kalangan saudagar memegang peran yang penting.

 

Abdul Hadi WM dalam buku Cakrawala Budaya Islam menjelaskan, para saudagar Arab dan Persia yang datang ke kota-kota pelabuhan di Nusantara berjasa dalam memperkenalkan Islam, terutama pada abad-abad sebelum 13 Masehi. Bahkan, untuk lebih mengintenskan dakwah mereka pun membawa serta sejumlah dai yang memang bertugas utama, yakni mengajarkan agama—bukan berdagang.

 

Guru besar Universitas Paramadina Jakarta itu menerangkan, sejak jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol pada abad ke-13 M, organisasi-organisasi dagang yang disebut ta’ifa pun bermunculan di Timur Tengah. Ta’ifa-ta’ifa ini dipimpin figur sufi yang walaupun memilih perdagangan sebagai cara mencari nafkah, memiliki perhatian amat besar pada urusan sosial-keagamaan.

 

Ta’ifa inilah yang efektif membentuk komunitas Islam di kota-kota pelabuhan yang merupakan pusat perdagangan (di Timur Tengah –Red), dan ta’ifa pulalah yang membina jaringan penyebaran agama Islam secara luas,” kata Abdul Hadi, seperti dinukil dari artikelnya, “Gerakan Ta’ifa” (1997).

 

Maka, ta’ifa-taifa itu pun ada yang berlabuh dan bahkan menetap di bandar-bandar di Nusantara. Memasuki abad ke-13, mereka semakin gencar membentuk komunitas yang tersebar di banyak kota pelabuhan, yang pada akhirnya juga berbaur dengan masyarakat lokal dan berhubungan baik dengan penguasa (politik) setempat.

dok repro buku

Mengapa Melayu?

 

Untuk melakukan perbauran itu, tentunya melalui medium bahasa. Karena bahasa Arab tidak mudah dipahami masyarakat lokal secara luas, para sufi atau cendekiawan Muslim dalam ta’ifa-taifa itu lalu berusaha mencari bahasa pribumi yang dapat dijadikan alat komunikasi dan penyebaran Islam yang tepat.

 

Situasinya mirip dengan Islamisasi Persia (Iran) yang berlangsung pada era Khulafaur rasyidin dan memuncak pada abad kesembilan Masehi. Waktu itu, bahasa Parsi secara de facto merupakan bahasa pergaulan (lingua franca) setempat. Maka, bahasa itulah yang dipilih para ulama dan cendekiawan Muslim untuk menjadi bahasa penyebaran dan pengajaran Islam, menggantikan bahasa Arab yang sukar dipahami masyarakat lokal. “Setelah mengalami Islamisasi secara intensif, bahasa Parsi tumbuh menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan sastra yang begitu efektif,” ujar Abdul Hadi.

 

Di Kepulauan Nusantara pada abad-abad sebelum 13 Masehi, pilihan jatuh pada bahasa Melayu yang telah lama berperan sebagai lingua franca dan bahasa perdagangan. “Salah satu kunci yang membuka pesatnya perkembangan agama Islam dan lembaga pendidikan Islam ialah karena digunakannya bahasa Melayu yang telah dikembangkan dan diislamkan,” jelas Abdul Hadi.

 

Bahkan, seperti diterangkan Prof Amin Sweeney dalam karya besarnya, Pucuk Gunung Es: Kelisanan dan Keberaksaraan Dalam Kebudayaan Melayu-Indonesia (2011), bahasa Melayu pernah menjadi bahasa yang ketiga terbesar dalam Dunia Islam. Argumentasi itu mungkin masih berlaku sampai hari ini. Pencapaian bahasa Melayu juga terjadi berkat budaya tulis menulis, khususnya yang dilakukan para ulama dan salik yang aktif berdakwah di Nusantara.

 

Melalui sastra dan dakwah, bahasa Arab merembes ke dalam bahasa Melayu. Demikian pula seiring dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang berpusat di kota-kota pelabuhan. Beberapa contoh di antaranya adalah Samudra Pasai, Malaka, Aceh, Johor, Banten, dan Makassar. Abdul Hadi memaparkan, sebagian besar teks-teks Nusantara klasik ditulis pada zaman Islam, yakni abad ke-15 sampai abad ke-19.

 

Teks-teks ini tidak hanya menggunakan bahasa Melayu atau Arab, melainkan juga bahasa daerah setempat, seperti Jawa, Sunda, Aceh, Madura, Bugis, Sasak, Banjar, dan Minangkabau. Menurut guru besar Universitas Paramadina tersebut, penduduk Nusantara yang tak berhasil dimasukkan ke dalam Islam bisa dikatakan tidak pernah mengenal tradisi tulis menulis.

 

Salah satu sastrawan Muslim unggul pada masa itu adalah Hamzah Fansuri. Ia merupakan penulis sufi yang memperkenalkan syair dalam kesusastraan Melayu. Genre tersebut merupakan bentuk sajak yang terdiri atas empat baris dengan rima teratur, ‘a-a-a-a.’ Abdul Hadi menduga, syair merupakan perpaduan dari genre ruba’i yang berasal dari Persia dan pantun Melayu. Di samping bahasa Arab, Persia dan Melayu, Hamzah Fansuri juga menguasai bahasa Hindi, Jawa, dan Siam.

 

Hamzah Fansuri juga merupakan orang pertama yang menulis risalah keagamaan dan ilmu pengetahuan dalam bahasa Melayu tinggi. Adapun ulama-ulama terdahulu pada umumnya menulis dengan bahasa Arab. Melalui tangan Hamzah Fansuri-lah bahasa Melayu mulai difungsikan sebagai bahasa fungsional untuk sastra dan sains. Abdul Hadi WM bahkan mengusulkan agar Hamzah Fansuri didaulat sebagai Bapak Bahasa Indonesia dan Malaysia atas jasa-jasanya mengangkat bahasa Melayu.

Aksara Jawi lumrah dipakai di seluruh kepulauan Indonesia sejak abad ke-13 M, tetapi kemudian lenyap karena pengaruh kekuasaan kolonial Belanda.

Menyerap Arab

 

Suatu bahasa menyerap kata dari bahasa lain karena didorong kebutuhan untuk mengungkapkan suatu konsep, benda, atau lokasi tertentu. Di samping itu, dalam hal bahasa sumber Arab, kontak budaya memainkan peran dominan.

 

Alif Danya Munsyi alias Remy Sylado menulis buku dengan judul yang cukup menarik, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Dalam artikel “Arab Bawa Adab”, sastrawan itu berpendapat, dalam hal peradaban dan ilmu, bangsa Indonesia berutang budi kepada bangsa Arab.

 

Kata-kata adab, ilmu, atau akhlak itu sendiri berasal dari bahasa Arab. Bangsa Indonesia mengenali itu semua menyangkut pemahaman dan pelembagaannya sejak bersentuhan dengan Islam. Begitu banyak kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Indonesia. Contoh lain kata-kata serapan dari bahasa Arab, yakni simak (dari sama’, mendengarkan), alim, musyawarah, napas, khatulistiwa, soal, makalah, naskah, akrab, dan asyik. “Gambarannya, jika kita baca sebuah kamus bahasa Indonesia yang lengkap, niscaya dalam setiap lembar halaman, mulai dari a sampai z, akan kita dapati di situ sekurangnya lima kata serapan dari bahasa Arab,” demikian tulis Remy Sylado.

 

Penyerapan kata dari bahasa asing dilakukan kadang kala diiringi dengan perubahan maknawi. Berikut beberapa kata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab dan mengalami hal tersebut.

 

Misalnya, adab, yang dalam bahasa Arab bisa berarti ‘etika’, ‘sastra’, atau ‘pendidikan’. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia kata adab hanya merujuk pada ‘etika’—dengan perkecualian terkait nama sebuah fakultas. Selain itu, kata ayat dalam bahasa Arab berarti ‘bagian dari pasal’ atau ‘tanda-tanda.’ Dalam bahasa Indonesia, ayat hanya berarti ‘bagian dari pasal dalam kitab atau undang-undang.’ Kata khilaf dalam bahasa Arab berarti bukan hanya‘keliru’, melainkan juga bisa ‘pertentangan.’ Kata aman dalam bahasa Arab berarti ‘sejahtera’ atau dapat pula ‘tenteram.’

 

Ada pula kata-kata serapan bahasa Indonesia dari bahasa Arab yang mengalami perluasan makna. Misalnya, paham (dari f-h-m) dalam bahasa Arab berarti ‘pengertian’, sedangkan dalam bahasa Indonesia itu bisa juga berarti ‘aliran keyakinan.’ Demikian pula kata hak (dari haq), yang bisa berarti ‘nyata’ dan ‘kewenangan.’

 

Di samping itu, ada pula kata-kata serapan dari bahasa Arab yang dalam bahasa Indonesia artinya menjadi cukup jauh menyimpang. Misalnya, kata hemat yang dapat berasal dari kata bahasa Arab hummat (‘keputusan’) atau pula himmat (berarti ‘kemauan’). Hemat dalam bahasa Indonesia berarti ‘tidak boros’ atau ‘pendapat.’ Kata azimat dalam bahasa Indonesia berarti ‘benda bertuah’, tetapi dalam bahasa Arab berarti ‘kemauan yang kuat.’ Kata sejarah berasal dari bahasa Arab, syajarah, yang berarti ‘pohon.’ Kata bahasa Arab, hajat, yang semula berarti serupa dalam bahasa Indonesia menjadi berkonotasi tertentu, yakni dalam ungkapan buang hajat (buang air).

penggunaan aksara Jawi d ruang publik | DOK wikipedia

Revolusi aksara

 

Penyerapan dari bahasa Arab juga membawa revolusi di bidang aksara. Dalam buku Dari Bahasa Melayu Sampai Bahasa Indonesia, UU Hamidy menjelaskan bahwa peralihan ini bisa dikatakan bermula dari Kerajaan Melaka. Kerajaan ini bersinar seiring dengan meredupnya Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat kebudayaan di Nusantara bagian barat.

 

Semasa Sriwijaya berjaya, yang berkembang di Nusantara adalah agama Hindu-Buddha. Adapun syiar Islam cenderung tersebar di wilayah Melaka dan sekitarnya. Dalam tradisi tulisan, era Sriwijaya menggunakan huruf Pallawa, yang diadopsi dari India. Kemudian, Islam datang membawa aksara Arab, sebagaimana bahasa Alquran.

 

Karena itu, ada penyesuaian bunyi bahasa (fonem) Melayu ke dalam aksara Arab. Apalagi, beberapa fonem Melayu tidak ditemukan hurufnya dalam sistem bahasa Arab. Misalnya, /c/, /ng/, /g/, dan /ny/. Masing-masing dilambangkan dengan huruf kha, ‘ain, kaf, dan nun—yang semuanya diberi penanda titik tertentu. Kitab Sejarah Melayu yang ditulis Tun Seri Lanang pada 1612 merupakan dokumen penting yang merekam perkembangan bahasa Melayu dengan aksara Arab.

 

Selain Kerajaan Melaka, Kerajaan Aceh juga menjadi mercusuar perkembangan bahasa Melayu. Dua kerajaan Islam ini menumbuhkan ulama-ulama besar, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, dan Nuruddin ar-Raniri. Mereka inilah yang ikut menyumbang perkembangan bahasa Melayu dengan jalan menulis. Melalui karya-karyanya, mereka memasukkan kata-kata bahasa Arab. Di kemudian hari, karya-karya ini menjadi rujukan dalam merumuskan bahasa Indonesia dan mengangkatnya melalui kodifikasi bahasa Melayu.

 

Estafet perkembangan bahasa Melayu kemudian berlanjut ke Kerajaan Johor-Riau-Pahang sejak abad ke-17 hingga abad ke-19. Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan tersebut. Dalam masa itu, Inggris kian melebarkan pengaruhnya di Nusantara. Pendirian Singapura pada 1819 oleh Stamford Raffles menimbulkan ketegangan politik dengan Belanda. Kerajaan-kerajaan di sekitar Selat Malaka mulai dipecah belah. Hamidy mencatat, Johor dan Pahang jatuh ke kekuasaan Inggris, sedangkan Riau-Lingga ke Belanda. Bagi Hamidy, inilah awal keretakan perkembangan bahasa Melayu. Sebab, sejak saat itu bahasa Melayu terpisah menjadi di bawah dua pengaruh, Belanda dan Inggris—yang kelak memunculkan bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia/Singapura/Brunei.

 

Di Singapura, muncul tokoh bahasa Melayu terkemuka, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Ia merupakan keturunan Tamil yang mengajarkan bahasa Melayu kepada Raffles. Gelar munsyi menunjukkan profesinya itu. Dialah yang menulis Hikayat Abdullah yang diselesaikannya pada 1843. Karya berbahasa Melayu ini menggunakan huruf Jawi—yang jelas-jelas merupakan serapan aksara dari sistem bahasa Arab. Edisi yang beraksara Latin baru diluncurkan pada 1903.

 

Isi Hikayat Abdullah berkaitan dengan pandangan-pandangan Abdullah sendiri mengenai banyak hal, antara lain, bahasa dan adat orang Melayu serta urusan-urusan kerajaan. Menurut Prof Amin Sweeney, bahasa Melayu yang digunakan Abdullah dalam karyanya itu begitu berpengaruh terhadap perkembangan bahasa Melayu selanjutnya. Penyusunan kamus dan injil oleh Leijdecker dalam bahasa Melayu juga mengalami perubahan kentara semenjak terbitnya Hikayat Abdullah.

Koin 25 sen uang Republik Indonesia. Perhatikan aksara Jawi untuk menyebut nama Dipa Negara. | dok lazada

Dampak tangan kolonial

 

Kebangkrutan VOC pada penghujung abad ke-18 mengawali babak baru dalam perkembangan bahasa Melayu. Memang, keterlibatan bangsa Belanda bisa dirujuk jauh sebelumnya. Pada akhir abad ke-16, misalnya, Frederick de Houtman merupakan orang pertama yang menulis kamus Belanda-Melayu. Ia membuat karya itu di sela-sela waktunya sebagai seorang tahanan di Aceh. Pada abad ke-17, Melchior Leijdecker menerbitkan terjemahan Alkitab pertama dalam bahasa Melayu. Akan tetapi, karakteristik penjajahan Belanda atas Nusantara merupakan alasan tersendiri melambatnya perkembangan bahasa Melayu bila dibandingkan dalam pengaruh Islam atau bahasa Arab.

 

Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Batas-batas Pembaratan, pihak Belanda saat itu cenderung enggan memaksakan bahasanya kepada masyarakat Nusantara. Sebab, Belanda menganggap kebudayaan Eropa sebagai superior sehingga membiarkan orang Indonesia supaya tetap dalam “keterbelakangan.” Logika kolonial seperti ini membuat Belanda membayangkan bahwa akan berbahaya bila masyarakat Nusantara mengenali “rahasia” kekuatan bangsa Eropa, yakni dengan mahir berbahasa Belanda.

 

Dengan demikian, para pejabat Belanda sendiri terpaksa mahir berbahasa Melayu—minimal secara lisan—agar bisa berkomunikasi dengan masyarakat jajahannya. Dari sinilah kodifikasi modern bahasa Melayu bermula, yang kemudian menjadi bahasa Indonesia. Terkait itu, Prof Faruk dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai bahwa bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai bahasa penjajah karena telah melalui standardisasi yang dibuat kekuasaan kolonial.

 

Kodifikasi ini ternyata meminggirkan peran Islam dan bahasa Arab, khususnya ulama-ulama yang sejak abad ke-13 telah giat membangun komunikasi peradaban di Nusantara. Belanda membuat sebuah ideologi kebahasaan dengan kedok standarisasi bahasa Melayu. Prof Faruk menjelaskan, para orientalis dan pemerintah kolonial membuat dualisme hierarkis, yakni menempatkan bahasa Melayu hasil kodifikasinya sebagai “Melayu Tinggi”, sedangkan bahasa Melayu yang dipakai sehari-hari masyrakat, lingua franca, dicap sebagai “Melayu Gado-gado”, “Melayu kacau”, dan sebagainya.

 

Kodifikasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda tentu saja menggunakan aksara yang sama dengan yang dipakai untuk bahasa Belanda. Kevin W Fogg dalam artikelnya, “The Standardisation of the Indonesian Language and Its Consequences for Islamic Communities” (2015) menjelaskan, kodifikasi atau standarisasi bahasa Melayu Tinggi itu mengalienasi penggunaan aksara Arab berbahasa Melayu atau Jawi. Padahal, Jawi merupakan simbol etnisitas bangsa Melayu. Demikian menurut Brett McCabe dalam tesisnya untuk Northern Illinois University.

 

McCabe melanjutkan, sejak abad ke-13 bangsa Arab merujuk istilah jawi sebagai nama bagi kepulauan yang terhampar di Asia Tenggara. Dengan demikian, kodifikasi atau standarisasi bahasa Melayu oleh kolonial Belanda telah mengeksklusi pengaruh peradaban Islam yang telah tumbuh subur sejak abad ke-13 M di Nusantara.

Warga mengamati Al-Quran yang dipajang di Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, beberapa waktu lalu. | dok antara yudhi mahatma

Fogg mengutip pernyataan tokoh Islam terkemuka Indonesia, Prof Buya Hamka, yang menegaskan, aksara Jawi lumrah dipakai di seluruh kepulauan Indonesia sejak abad ke-13 M, tetapi kemudian lenyap karena pengaruh kekuasaan kolonial Belanda.

 

Penggunaan aksara Jawi dan Latin memunculkan dampak di tingkat elite, semisal kaum cerdik cendekia. Fogg menemukan, hingga era 1920-an elite Muslim Indonesia cenderung menggunakan aksara Jawi, alih-alih Latin, untuk menulis dalam bahasa Melayu. Hal itu mereka lakukan terutama dalam menulis teks-teks keagamaan atau korespondensi. Tidak demikian halnya dengan kaum terpelajar yang pernah mengenyam pendidikan formal bentukan Belanda. Mereka terbiasa dengan literatur dan bahasa-bahasa Eropa sehingga jarang atau bahkan tidak bisa menulis dengan aksara Jawi, melainkan Latin.

 

Hengkangnya kekuasaan kolonial Belanda pada 1942 serta berkuasanya Jepang membuat bahasa Belanda benar-benar tersingkir. Tidak menunggu waktu lama, bahasa Melayu Tinggi (cikal bakal bahasa Indonesia) menjadi bahasa resmi. Dalam pada itu, menurut Fogg, banyak elite pribumi yang berpendidikan Barat memakai bahasa Indonesia untuk pertama kalinya. Tentu saja, mereka memilih menggunakan aksara Latin, bukan Jawi, sebagaimana mereka terbiasa menulis dalam bahasa Belanda.

 

Di masa pendudukan Jepang, aksara Jawi tidak lenyap. Untuk menyasar kalangan Muslim-Pribumi terdidik, Jepang justru memanfaatkan penulisan dengan aksara Jawi dalam terbitan-terbitannya. Namun, yang aktif di kota-kota besar Indonesia adalah, terutama, kalangan Pribumi sekular. Mereka terdidik secara Barat dan fasih berbahasa Belanda.

 

Dalam kurun tahun 1948-1956, aksara Jawi menghilang secara keseluruhan dari teks-teks di Tanah Air. Walau begitu, pelesapan Jawi ini masih dengan segelintir perkecualian. Misalnya, pada masa Revolusi 1945-1949, pemerintah Republik Indonesia dalam beberapa kesempatan masih memakai aksara Jawi di daerah-daerah tertentu yang didominasi kaum Muslim tradisional, semisal Aceh.

 

Fogg dengan ringkas mengambil contoh gambar untuk menjelaskan menghilangnya pengaruh Jawi, atau aksara Arab pada umumnya, dalam bahasa Melayu. Koin Republik Indonesia 50 sen, misalnya, pada 1952 masih menghadirkan aksara Jawi untuk menuliskan nama Pangeran Diponegoro—seorang pahlawan Muslim yang gambar wajahnya terukir di permukaan uang tersebut.

 

Namun, tiga tahun setelahnya yakni pada 1955, nama Diponegoro dalam aksara Jawi itu hilang dan menyisakan hanya nama Diponegoro dalam aksara Latin. Maka jelaslah bahwa legasi dari peradaban Islam-Melayu telah terpinggirkan. Sistem aksara yang dipakai oleh bahasa Indonesia, sampai hari ini, seturut hasil perumusan kolonial Belanda, yakni dengan memakai aksara Latin. Peradaban Barat “membawa” aksara Latin ke Nusantara dan Republik Indonesia, secara sadar, memilihnya sebagai sebuah konvensi nasional.

 

Fogg berkesimpulan, karya-karya para ilmuwan Muslim Indonesia berbahasa Melayu dari masa lalu, yang memakai aksara Jawi, tampak menjadi asing bagi generasi kini. Bahkan, karya mereka lebih asing ketimbang karya-karya orientalis Belanda, misalnya. Para terpelajar Muslim yang memakai aksara Jawi itu otomatis masuk kategori “buta huruf” bila dipandang dari perspektif peradaban kini, yang mengikuti jejak Barat.

top